Minggu, 29 April 2012

DENOMINASI RUPIAH


Isu denominasi rupiah yang beredar belakangan ini cukup menarik perhatian masyarakat. Keresahan cukup wajar karena masyarakat teringat pemotongan nilai uang dizaman Bung Karno (1959) dimana inflasi mencapai 635,5%!. Lebih banyak tanggapan kuatir akan dampak ‘pemotongan’ nilai rupiah, terutama bagi kalangan masyarakat kecil.
PENGERTIAN DENOMINASI
Denominasi adalah menyederhanakan pecahan mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit angka nol tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. 


Rencana pemerintah RI untuk Denominasi rupiah dikawatirkan akan menjadi masalah bagi sistematis ekonomi apabila sosialisasi pemerintah yang tidak tepat. Bank Indonesia harus benar-benar siap dalam melakukan Denominasi rupiah ini, BI membutuhkan sosialiasi yang luar biasa agar semua masyarakat paham. Padahal, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai tingkatan ekonomi dan pendidikan.
Denominasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah pengurangan 3 digit. Uang Rp.10.000 (sepuluh ribu rupiah) jika didenominasi menjadi Rp.10 (sepuluh rupiah) . Banyak masyarakat yang menghawatirkan jika Denominasi dilakukan ditakutkan masyarakat malah akan khawatir nilai uangnya terpotong, dan padahal tidak. Nantinya, orang akan beramai-ramai menukarkan rupiah ke dolar, karena pemerintah AS menjamin dolar yang telah dikeluarkan tidak akan diganti dan dikurangi.

Kabarnya Denominasi akan bisa berjalan pada tahun 2015 mendatang, yang jadi pertanyaan apakah pemerintah benar-benar siap dalam mempersiapkan dan mensosialisasikan Redenominasi ini kepada masyarakat Indonesia? Lalu bagaimana nanti ketika uang 1.000 menjadi 1 rupiah dan masyarakat yang belanja di supermarket ketika mendapatkan uang kembali yang biasanya diganti permen.

PRO KONTRA DENOMINASI

Wacana Bank Indonesia (BI) menyederhanakan pecahan mata uang (denominasi) rupiah harus disertai sosialisasi masif kepada seluruh lapisan masyarakat.
BI dan pemerintah diminta tidak ceroboh mengabaikan dampak sosial dan psikologis apabila kebijakan itu diberlakukan tanpa sosialisasi yang memadai. Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, mengingatkan pemerintah dan BI bahwa pemahaman masyarakat Indonesia terhadap masalah-masalah perekonomian maupun keuangan sangat beragam.
Artinya, kebijakan perekonomian yang berdampak luas kepada masyarakat sebaiknya dipersiapkan dan disosialisasikan secara baik. “Harus ada koordinasi antara pemerintah, BI, dan seluruh pemangku kepentingan terkait kebijakan ini.Hal yang paling penting sosialisasi harus meluas dan mendalam,” ujarnya saat dihubungi Seputar Indonesia di Jakarta kemarin.
Seperti diberitakan, BI menggulirkan wacana untuk melakukan penyederhanaan pecahan mata uang rupiah. Bank sentral beralasan, uang pecahan terbesar Indonesia, Rp100.000, merupakan yang terbesar kedua di dunia, setelah Vietnam dengan pecahan terbesar 500.000 dong. Bila memperhitungkan Zimbabwe,yang pernah mencetak pecahan 100 miliar dolar,pecahan Rp100.000 menempati urutan ketiga terbesar.
Kita ingat kembali bahwa Denominasi adalah menyederhanakan (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa memangkas nilai mata uang tersebut. Semisal terjadi denominasi tiga digit (3 angka 0), maka Rp1.000 menjadi Rp1. Nantinya pecahan mata Rp1 baru setara dengan denominasi Rp1.000 yang lama. Sigit Pramono menuturkan, Perbanas pada prinsipnya mendukung denominasi lantaran akan meningkatkan efisiensi transaksi dan pembukuan.
Syaratnya, pemerintah dan BI berhati-hati sebelum memberlakukan kebijakan tersebut. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Sandiaga Uno berharap masyarakat tidak menyikapi wacana denominasi dengan berlebihan.Denominasi merupakan ide bagus yang akan mempermudah transaksi. “Yang penting sekarang sosialisasi harus dilakukan dengan matang, baik tentang arti maupun tujuan denominasi,” paparnya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo menegaskan bahwa wacana denominasi rupiah masih merupakan kajian BI, belum merupakan keputusan resmi. Pemerintah belum membahas secara khusus kajian BI tersebut. ”Ada satu studi yang dilakukan BI, itu belum final,kami di pemerintah belum dikonsultasikan (oleh BI mengenai) hal itu.Jadi kami belum bisa bilang apa-apa.
Itu masih lama dan masih studi,”ujarnya. Berdasarkan studi yang dilakukan BI, denominasi tidak akan berdampak buruk bagi perekonomian. Walau begitu pemerintah belum bisa menanggapi implementasi wacana itu. Lantaran sifatnya kajian, belum tentu denominasi akan dilaksanakan menjadi sebuah kebijakan.
Butuh Biaya Besar
Kalangan bankir berpendapat implementasi denominasi butuh biaya besar. Perbankan perlu menyesuaikan sistem teknologi informasi apabila denominasi benar-benar diimplementasikan. “Kebijakan itu justru hanya akan meningkatkan biaya operasional, terutama masalah teknologi informasi. Belum lagi masalah yang timbul akibat kesalahan manusia,” ujar Direktur Utama Bank Agro Kemas M Arief.
Selain itu, yang tidak bisa diduga adalah kemungkinan reaksi masyarakat yang berlebihan. “Apalagi urgensi melakukan denominasi ini juga belum jelas,”ungkap Kemas. Direktur Konsumer BII Stephen Liestyo mengatakan, sistem komputerisasi perbankan harus diubah apabila denominasi dijalankan. Alasannya, dalam masa transisi ada dua mata uang yang berlaku, yakni rupiah lama dan rupiah baru.
“Sehingga perbankan harus mengubah komputerisasi untuk mengakomodasi hal tersebut,” kata Stephen. Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja menilai denominasi akan menimbulkan dampak positif dan negatif. Dari sisi positif, denominasi akan menjadikan pecahan mata uang lebih sederhana. Negatifnya, kebijakan itu butuh biaya, terutama untuk pengaturan sistem dan penyesuaian materi cetak.
”Kalau diyakini positifnya akan baik untuk negara kita dalam jangka panjang, kita akan konsekuen menjalankannya,” kata Parwati. Country Business Manager Citi Indonesia Tigoor M Siahaan menjelaskan, redenominasi akan menghabiskan biaya besar, baik dari BI sendiri maupun dari kalangan perbankan. Karena itu, dia berharap BI segera membuat program sosialisasi wacana itu secepatnya agar tidak menimbulkan kepanikan.
“Kebijakan itu tentu akan memakan biaya besar, terutama BI yang harus melakukan pencetakan uang kembali. Tapi bagi kami juga besar karena harus menyiapkan segala infrastrukturnya,” tambah Tigoor. Direktur Utama Bank Bukopin Glen Glenardi berharap BI mewaspadai dampak sosial yang akan terjadi setelah kebijakan itu diterapkan. Dia mengkhawatirkan trauma masyarakat pada kebijakan sanering pada 1966.
”Saya khawatir persepsi masyarakat seperti pada saat Orde Lama,sehingga mereka tidak percaya pada rupiah,”kata Glen. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito mengatakan, wacana redenominasi tidak akan berdampak besar bagi pasar modal.Wacana itu bukan isu penting yang memicu kekhawatiran pelaku pasar. “Kepanikan itu hanya investor individu,”ujar Ito. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wiryawan menyambut positif wacana denominasi.
“Tidak masalah, justru (uang) akan lebih mudah dibawanya,”kata dia. Adapun dari sisi investasi,denominasi tidak akan memberi imbas negatif terhadap investasi asing yang masuk ke Indonesia.Sebab,denominasi tidak mengurangi nilai mata uang dalam negeri. Menurut dia, hal yang perlu mendapat perhatian, yakni saat praktiknya kelak. Diaberharap, jika denominasi diterapkan, bisa berjalan dalam batas wajar dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Menteri Perindustrian MS Hidayat beranggapan, penerapan redenominasi justru perlu dilakukan lantaran nominal mata uang Indonesia terbilang besar. “Di dunia, hanya kita (Indonesia) dan Vietnam yang nominasi mata uangnya besar,”ujarnya. Hidayat berpandangan,denominasi tidak akan memberikan pengaruh buruk terhadap sektor industri. Pelaku industri akan mudah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Namun dia meminta sosialisasi denominasi dilakukan dengan benar agar tidak mengagetkan kalangan industri ketika kebijakan tersebut direalisasikan.
Fokus Inflasi
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar Nusron Wahid berharap Gubernur BI tidak lagi menggulirkan wacana kontraproduktif seperti denominasi.Seharusnya BI lebih fokus mengurusi tugas pokoknya, yaitu mengendalikan stabilitas moneter (inflasi) dan nilai tukar serta mendorong intermediasi perbankan. “Kalau redenominasi ini sebaiknya didiskusikan di internal dulu.
Jika situasinya sudah tepat, baru dikeluarkan,” katanya. Menurut anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP Maruarar Sirait,denominasi seharusnya bukan menjadi prioritas BI saat ini. Dia meminta Gubernur BI terpilih Darmin Nasution fokus terhadap sembilan catatan yang telah direkomendasikan DPR sebelumnya. “Itu (denominasi) bukan jadi prioritas Darmin kali ini. Sebaiknya Darmin fokus pada sembilan catatan yang telah kami berikan sebelumnya, saat pemilihan (gubernur BI),”ungkap Maruarar.
Sembilan catatan itu antara lain menurunkan suku bunga pinjaman, mengatasi dominasi perbankan asing, pengaturan hot money, asas resiprokal, mengendalikan moneter dan meningkatkan intermediasi perbankan. Sembilan catatan itu sudah menjadi komitmen bersama antara DPR dan Gubernur BI terpilih dan harus diwujudkan dalam bentuk peta kebijakan (roadmap) yang pro pada sektor riil. “Seharusnya Darmin fokus terhadap sembilan catatan yang kami minta, bukan membuat kebijakan lain,”tegasnya.



Penjelasan Guberbur BI terkait masalah Denominasi :

Gubernur Bank Indonesia (BI), Darmin Nasution, menegaskan bahwa denominasi rupiah bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Denominasi sama sekali tidak merugikan masyarakat karena berbeda dengan sanering atau pemotongan. Dalam denominasi nilai uang terhadap barang tidak akan berubah, yang terjadi hanya penyederhanaan dalam nilai nominalnya berupa penghilangan beberapa digit angka nol,” jelas Darmin kepada Antaranews di Jakarta.
Darmin mengemukakan, denominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat, sedangkan sanering adalah pemotongan nilai mata uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, yaitu dengan memotong nilai uangnya saja.
Dalam denominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja. Dengan demikian,denominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran,” ujarnya.
Menurut Darmin, denominasi akan menyederhanakan sistem akuntasi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
BI belum akan menerapkan denominasi dalam waktu dekat ini karena BI menyadari bahwa denominasi membutuhkan komitmen nasional serta waktu dan persiapan yang cukup panjang,”katanya.
Dalam tahapan riset mengenai denominasi, BI akan secara aktif melakukan diskusi dengan berbagai pihak untuk mencari masukan dan hasilnya akan diserahkan pada pihak-pihak terkait agar dapat menjadi komitmen nasional.
Darmin mengatakan, keberhasilan denominasi akan sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini tengah dikaji sebagaimana telah dilakukan oleh beberapa negara yang telah sukses menerapkannya.
Beberapa faktor yang mendukung suksesnya pelaksanaan denominasi adalah ekspektasi inflasi yang berada pada kisaran rendah dengan pergerakan yang stabil, stabilitas perekonomian yang terjaga serta adanya jaminan terhadap stabilitas harga serta adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat.
Adapun Tahapan Rencana Bank Indonesia Redenominasi Rupiah
Tahun 2012-2013
Pada tahun-tahun tersebut dilakukan sosialisasi.
Tahun 2013-2015
Merupakan masa transisi. Pada masa transisi digunakan dua rupiah, yakni memakai istilah rupiah lama dan rupiah hasil denominasi yang disebut rupiah baru.
Dalam masa transisi ini akan ada dua quotasi penyebutan nominal uang.
Pada masa ini masyarakat juga bisa menggunakan dua jenis mata uang. Misalnya, ada pembeli dengan uang baru, si penjual bisa memberi kembalian dengan uang baru maupun uang lama, ataupun campuran keduanya. Toko yang menjual barang wajib memasang dua label harga, yakni harga barang lama dan baru.
Pada masa transisi itu juga, BI akan mencetak uang baru yang diredenominasi. Sebagai contoh, BI akan mencetak Uang Rp 10,- yang akan menggantikan Rp 10.000,-.
Tahun 2016-2018
Proses penarikan uang lama dilakukan.
Tahun 2019-2020
Keterangan ‘baru’ dalam uang denominasi akan dihapus dan sejak saat itu semua masyarakat akan melakukan transaksi jual beli dengan uang baru yang telah didenominasi.
Kekhawatiran Masyarakat dengan Denominasi mata uang rupiah, sebenarnya masuk akal terutama bagi orang kaya yang memiliki uang milyaran rupiah, misal Rp. 1.000.000.000,- yang tadinya jumlah nol (0) nya sembilan (9) bersisa enam (6) saja yaitu Sejuta saja Rp. 1.000.000,-, jadi bukan disebut milyarder lagi alias turun pangkat.

Sabtu, 14 April 2012

Sejarah Aksara Batak

Sejarah

Aksara Batak dan Sejarahnya
Surat Batak sering diklasifi­kasikan sebagai sebuah silabogram, namum ini jelas keliru karena aksara Batak – sebagaimana juga aksara-aksara lainnya di Nusantara – merupakan bagian dari rumpun tulisan Brahmi (India) yang lebih tepat dapat diklasifikasikan sebagai abugida (paduan antara silabogram dan abjad). Sebuah abugida terdiri dari aksara yang melambangkan sebuah konsonan sementara vokal dipasang pada aksara sebagai diakritik. Abugida adalah jenis tulisan yang bersifat fonetis dalam arti bahwa setiap bunyi bahasanya dapat dilambangkan secara akurat.
Asal Usul Aksara Batak
Paleografi adalah ilmu tentang tulisan-tulisan kuno. Di banyak masyarakat yang mengenal tulisan terdapat naskah-naskah kuno yang umurnya dapat mencapai ratusan atau bahkan ribuan tahun. Aksara yang terdapat pada naskah-nas­kah kuno pada umumnya berbeda de­ngan ak­sara yang ter­da­pat dalam naskah yang lebih baru. Dengan cara memper­ban­ding­kan aksara-akasara yang terdapat dalam naskah-naskah lama, kita dapat menyusun semacam silsilah aksara.
Sebagian besar sistem tulisan yang ada di Afrika, Eropa, dan Asia ber­asal dari satu sumber, yakni ak­sara Semit Kuno yang menjadi ne­nek moyang tulisan-tulisan Asia (Arab, Ibrani dan India) maupun Eropa (Latin, Yunani dsb.)
Aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Aksara India yang ter­tua adalah aksara Brahmi yang menurunkan dua kelompok tulisan yakni In­dia Utara dan India Selatan. Aksara Nagari dan Palawa masing-masing ber­asal dari kelompok utara dan selatan dan kedua-duanya per­nah di­pa­kai di berbagai tem­pat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Casparis 1975). Yang paling berpengaruh adalah aksara Palawa. Semua tulisan asli Indonesia berinduk pada aksara tersebut.
Pada Gambar berikut dapat dilihat di mana se­cara garis besar tempatnya aksara Batak dalam sil­silah tulisan sedunia.
Silsilah Aksara
Surat Batak terdiri atas dua perangkat huruf yang masing-masing di­se­but ina ni surat dan anak ni surat. Sistem tulisan yang demikian juga di­pakai oleh semua abjad India dan abjad-abjad turunannya. Dan me­mang aksara Batak dan demikian juga semua aksara Nusantara lainnya yang berinduk pada aksara India).[1] Namun demikian, kerabat surat Ba­tak yang paling dekat adalah aksara-aksara Nusan­tara, dan khususnya yang di Sumatra. Tulisan Nusantara asli dapat dibagi atas lima kelom­pok:
1. Aksara Hanacaraka (Jawa, Sunda, Bali)
Ketiga aksara ini sangat mirip sekali dan disebut Hanaca­raka menu­rut lima aksara yang pertama. Menurut De Caspa­ris, ketiga tu­lisan terse­but berasal dari aksara Jawa Kuno (Kawi), sementara aksa­ra Kawi secara lang­sung berasal dari aksara Palawa (Casparis 1975).
2. Surat Ulu (Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pase­mah, dan Serawai)
Surat Ulu, yang kadang-kadang juga dinamakan aksara Ka-Ga-Nga  me­nurut bunyi ketiga aksara pertama, sangat mirip satu sama lain dan di­pa­kai di dalam daerah yang sangat luas yang mencakup empat propinsi yakni Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Aksara Kerinci (su­rat incung) digunakan di Kabupaten Kerinci, propinsi Jambi, di seki­tar kota Sungaipenuh. Dataran tinggi di pegunungan Bukit Barisan ini ber­batasan dengan propinsi Sumatra Barat dan propinsi Bengkulu.
Aksara yang ada di kabupaten Rejang-Le­bong, Pro­pinsi Bengkulu, ju­ga dikenal sebagai aksara Rencong. Masih di kabupaten Bengkulu dan di perbatasan Bengkulu-Sumatra Selatan terdapat beberapa suku bangsa yang memiliki aksara yang hampir sama dengan aksara Rejang-Lebong, yakni aksara Lem­bak, Pase­mah, dan Serawai. Aksara Lampung berbeda se­dikit dari Surat Ulu, tetapi masih banyak memiliki persamaan.
3. Surat Batak (Angkola-Mandailing, Toba, Simalungun, Pak­pak-Dairi, Karo)
4. Aksara Sulawesi (Bugis, Makasar, dan Bima)
Di Sulawesi terdapat dua aksara yang berbeda. Yang per­tama adalah ak­sara Makasar Kuno. Naskah yang ditulis de­ngan mengguna­kan aksara ter­sebut sangat sedikit jumlahnya karena sejak abad ke-19 tidak dipakai la­gi. Aksara kedua adalah aksara Bugis yang kemudian juga digu­nakan oleh orang Makasar menggantikan aksara Makasar Kuno. Pada hakikat­nya aksara Bugis-Makasar tersebut persis sama, perbedaannya hanya ada pada jumlah huruf karena Bugis mempunyai empat aksara tambah­an. Aksara Bugis-Makasar pernah juga diguna­kan di Bima dan Ende (bekas daerah taklukan Makasar), namun nas­kah dari kedua daerah tersebut sangat langka sekali. Sama dengan di Sumatra, orang Bugis pun me­na­ma­kan aksaranya surat: Surat Bugis.
5. Aksara Filipina (Bisaya, Tagalog, Tagbanwa, Mangyan)
Seperti juga halnya dengan ketiga kelompok di atas, aksara Filipina juga merupakan suatu kelompok yang mempunyai be­berapa sistem tulis­an yang satu sama lainnya banyak menunjukkan persama­an.
Keempat aksara adalah Sulat Bisaya, Sulat Tagalog, Surat Tagbanwa, dan Surat Mangyan.
Naskah yang paling lama pada umumnya ditulis pada ba­han yang da­pat bertahan lama seperti di batu atau di lempe­ngan logam. Batu ber­tu­lis yang paling tua di Indonesia adalah prasasti Raja Mulavar­man yang di­te­mu­kan di Kutai, Kali­man­tan Barat yang ditulis pada tahun 322 Saka (tahun 400 Masehi). Hampir sama tua (450 M) adalah prasasti Raja Pur­na­varman yang ditemukan di Ci Aruten, Jawa Barat. Kedua prasasti ter­se­but beraksara Palawa, dan berba­hasa Sanskerta. Prasasti-prasasti Sri­wi­ja­ya dari abad ke-7 juga masih menggunakan ak­sara Palawa, tetapi ba­ha­sa­nya lain, yakni bahasa Melayu Kuno. Lambat-laun aksara Palawa ter­se­but berubah bentuk­nya sehingga pada abad kede­lapan menurunkan ak­sa­ra Kawi (baik di Sumatra maupun di Jawa). Aksara Kawi tersebut ma­sih relatif mirip dengan aksara in­duknya, tetapi di sepan­jang abad ak­sara itu berkembang lagi dan bentuk hu­rufnya berubah. Sebagai akibat per­ke­mbang­an tersebut, pada abad ke-14 terbentuk beberapa aksara serumpun, ter­masuk Sumatra (prasasti Adityawarman) dan Jawa (prasasti Maja­pa­hit) yang sudah sangat berbeda dari aksara Palawa. Sedangkan aksara Ja­wa hanacaraka (abad kedelapan belas hingga kini) juga jauh ber­be­da dengan aksara Kawi di zaman Majapahit. Bila kita perhatikan per­ubah­an-perubah­an yang terjadi di sepanjang abad menjadi jelas bahwa per­ubahan itu tidak terjadi secara mendadak melainkan secara berkesi­nambung­an. Sebagai contoh, mari kita simak sejarah perkembangan hu­ruf Na.
Pada naskah Batak ditemukan empat bentuk Na. Yang berbentuk  boleh dianggap yang paling tua karena masih mirip dengan bentuk aksara Palawa dan Kawi (kolom 2–4). Na-kuno ini memiliki varian yang memperlihatkan perkembangan ke arah bentuk baru dan .

Pada kolum pertama tabel di atas terlihat huruf Na sebagaimana di­tu­lis di India pada awal dan pertengahan milenium pertama. Kolom kedua mem­perlihtakan aksara yang sama sekitar seribu tahun kemudian (abad ke-14). Ternayata dalam kurun waktu seribu tahun bentuk Na Majapahit itu tidak berubah jauh dengan bentuk Palawa; bagian bawah masih ham­pir sama, namun bagian atas disederhanakan. Kolom ke-3 dan ke-4 mem­per­lihatkan dua bentuk aksara yang juga dari abad ke-14, tetapi di­gu­na­kan di Sumatra, persisnya di Dharmasraya, di perbatasan Sumatra Barat dan Jambi. Walaupun bentuknya berbeda, kedua aksara berasal dari masa dan tempat yang sama. Keduanya digunakan pada abad ke-14 di dalam ke­rajaan Malayu. Yang pertama ditulis pada naskah Tanjung Tanah yang ber­asal dari Dharmasraya, dan yang kedua ditemukan pada bagian be­la­kang patung Amoghapasa yang ditulis oleh Adityawarman dan di­te­mu­kan di Dharmasraya juga. Bentuk Na naskah Tanjung Tanah tidak ber­be­da jauh dengan bentuk aksara Bali Baru namun Jawa Baru su­dah makin men­jauh dari aksara asalnya.
Jelas kelihatan di sini bahwa aksara Palawa dan Kawi ma­sih sa­ngat mirip, dan juga Batak , yakni Na-kuno, masih cukup dekat dengan aksara Palawa dan Kawi, sementara Batak (Na-Baru) merupakan penyederhanaan bentuk .
Dengan adanya sejumlah naskah kuno, terutama prasasti dan nas­kah yang ditulis di lempengan-lempengan tembaga atau emas, maka sejarah ak­sara Jawa dapat ditelusuri kembali sampai pada awal perkem­bangan ak­sara Kawi. Orang Batak, Rejang, Kerinci, Lampung, Bugis, Makasar dan juga orang Filipina pada umumnya tidak menge­nal prasasti atau nas­kah logam, dan hanya menggunakan bahan yang mudah lapuk seperti bam­bu, kulit kayu (Sumatra), dan lontar (Sula­wesi). Naskah yang masih ada pada umumnya tidak lebih tua daripa­da 200 tahun sehingga kita ti­dak tahu banyak tentang sejarah perkem­bangan aksara-ak­sara Nusan­ta­ra ter­sebut. Diduga bahwa semua tu­lisan Nusan­tara di luar Jawa dan Bali ber­asal dari sumber yang sama yang dianggap berada di Suma­tra bagian selatan pada masa kejayaan Sriwijaya.
Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat de­ngan ak­sara Ba­tak adalah aksara Kerinci (surat incung), aksara Lebong, Lembak, Lin­tang, Pasemah, Rejang, Serawai (surat ulu), serta aksara Lam­pung. Sa­ma dengan daerah Batak, daerah-daerah tersebut juga agak terpencil di da­erah pegunungan sehingga kurang terpeng­aruh oleh pengaruh-pe­nga­ruh asing yang dibawa dari seberang lautan dan secara lambat me­rem­bet da­ri pesi­sir ke pedalaman. Salah satu pengaruh budaya asing ada­lah ma­suk­nya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam ber­sebar pu­la tulisan Arab yang di Melayu terkenal se­bagai tulisan Jawi. Ak­sara “Arab gundul” tersebut cepat mengganti­kan aksara-aksara Suma­tra asli yang kemudian hilang sama sekali. Karena daerah-daerah yang di­sebut di atas berada di pedalaman dan agak terpencil, maka pengaruh Islam baru di­rasakan pada abad ke-19 sehingga aksara asli masih dapat ber­tahan sam­pai pada abad ke-20. Besar kemungkinan bahwa aksara Mi­nang­ka­bau dan Melayu juga pernah ada, tetapi ke­mudian diganti­kan oleh tulis­an Arab-Melayu se­hingga hilang tak ber­bekas.
Aksara-aksara surat ulu di Sumatra bagian selatan banyak memiliki per­sama­an dengan hu­ruf Batak. Huruf Ka, Ga, dan Ha hampir sama ben­tuk­nya, dan juga huruf Da masih banyak menunjukkan persamaan.
Persamaan Surat Batak, Surat Ulu, dan Surat Incung
Sebagian nama anak hu­ruf juga sangat mirip. Selain itu se­mua aksara Sumatra dan termasuk juga seba­gian ak­sara Sulawesi dan Filipina memiliki persa­maan yang struktural yang membe­da­kannya dengan aksa­ra India, Asia Tenggara, Jawa, dan Bali. Ciri-ciri khas aksara-aksara Su­matra, Sulawesi, dan Filipina adalah kesederhanaan­nya.
Dibandingkan dengan aksara-aksara India yang memiliki empat pu­luhan aksara ditambah belasan tanda diakritik, tulis­an-tulisan Nusantara jauh lebih sederhana. Tulisan Jawa dan Bali memiliki 20 aksara dan 10 diakritik, tulisan Lampung memiliki 20 aksara dan 12 diakritik, tulisan Makasar 19 aksa­ra dan 5 diakritik, dan tulisan Ta­galog hanya 15 ak­sara dan dua diakritik.
Tulisan-tulisan India dan juga tulisan Sunda, Jawa, dan Bali mem­punyai tanda “pasangan”, ialah tanda diakritik penanda konso­nan yang ditulis untuk menutup konsonan lain di depannya. Tulis­an-tulisan Nusantara di luar Jawa dan Bali tidak meng­guna­kan pasangan sehingga jumlah huruf yang harus dihafal jauh berkurang.
Kesederhanaan dalam bentuk aksaranya juga adalah ciri-ciri khas bagi aksara-aksara tersebut. Bila dibandingkan de­ngan aksara Jawa atau Bali, tampak bahwa aksara Sumatra, Sulawesi dan Filipina mempunyai bentuk yang lebih sederha­na. Bentuk yang berlengkung-lengkung telah diganti oleh ben­tuk yang lebih bersegi yang lebih se­suai untuk menulis di permukaan yang keras seperti di kulit bambu.
Aksara-aksara tersebut juga memperkenalkan sebuah hal yang baru yakni aksara-aksara yang didahului bunyi sengau. Batak (Karo) memiliki dua huruf tambahan yakni Mba dan Nda, aksara Kerinci dan Rencong menambahkan dua lagi yakni Ngga dan Nja. Aksara Bugis juga mem­punyai empat aksara yang bersengau ialah Ngka, Mpa, Nra, dan Nca. Perlu dicatat bahwa gejala tersebut tidak ada pada ak­sara Batak selain Karo, dan juga tidak ada di Lampung, Makasar, dan Filipina.
Karena persamaan-persamaan yang tadi disebut, dapat diduga bahwa semua aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari satu aksara purba. Aksara purba tersebut ke­mungkinan besar tercipta di daerah Su­ma­tra selatan pada masa kejayaan dan di sekitar wilayah Sriwijaya. Ak­sara purba tersebut dapat dipastikan tercipta di bawah pengaruh aksara-aksara Palawa yang telah berkembang di wilayah tersebut, namun diolah sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi lebih sederhana supaya lebih mudah dipelajari, lebih sesuai untuk ba­hasa-bahasa setempat (yang dari segi bunyi jauh le­bih sederhana daripada bahasa-bahasa India), dan juga lebih sesuai untuk menulis di atas bambu. Bagaimana persisnya perkembangan aksara Sumatra se­lanjutnya, bagaimana hubungannya dengan kerabat-kerabat lainnya di Filipina dan di Sulawesi, dan bagai­mana persisnya peranan aksara Jawa da­lam pembentukan aksara Sumatra tidak diketahui dan mung­kin juga kelak tidak akan diketahui.
Walaupun pengetahuan kita tentang masa lampau aksara Batak sa­ngat terbatas, kita dapat mengetahui sedikit tentang sejarah perkemba­ngan aksara Batak dengan cara memperban­dingkan aksara Batak satu sama lain, dan juga de­ngan aksara Nusantara lainnya. Ternyata penelitian yang demikian yang sampai sekarang belum per­nah dilakukan, sa­ngat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang perkembangan dan arah penyebaran aksara Batak. Analisa ini dimulai pada ina ni surat.
Aksara (Ina ni Surat)
Van der Tuuk berpendapat bahwa perkembangan aksara Batak terjadi dari selatan ke utara, dan bahwa daerah asalnya di Mandailing (Tuuk 1971:77). Parkin (1978:100) juga berpendapat demikian karena alasan-alasan berikut:
Aksara Nya, Wa dan Ya melambangkan tiga bunyi yang terda­pat dalam bahasa Mandailing sementara dalam bahasa Toba tidak ada bunyi [ny], [w], atau [y]. Dengan demikian ketiga huruf tersebut sebenarnya mubazir karena tidak terdapat bunyinya dalam bahasa Toba. Sebagai contoh, Mandailing sayur menjadi saur di Toba, manyurat menjadi manurat. Pada bahasa Pakpak dan Karo tidak ada bunyi [ny] dan juga tidak ada aksara Nya. Keberadaan Nya di aksara Toba membuktikan bahwa aksara Toba berasal dari Mandai­ling.
Argumentasi Parkin sangat masuk akal. Sekiranya aksara Batak mula-mula tercipta di Toba, tak mungkin ada huruf Nya, karena ti­dak ada bunyi itu dalam bahasa Toba. Di Tanah Karo ­– daerah yang paling utara le­taknya, huruf (yang di selatan berbunyi Nya) berubah maknanya menjadi Ca. Ternyata urutan dalam abjadnya tetap sama dengan posisi Nya ialah antara La dan I. Dengan demikian, huruf menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara. Teori terse­but juga didukung oleh faktor-faktor lainnya:
Keragaman dalam varian-varian aksara paling besar di Man­dailing, di­susul oleh Toba dan Karo. Namun di Karo, keragaman tersebut di­se­bab­kan oleh adanya perkembangan-perkembangan yang relatif baru se­per­ti variasi yang ada pada huruf Sa, Da, dan Ca, dan terutama karena ada­nya se­jumlah aksara baru seperti ketiga varian Mba , dan ser­ta kedua varian Nda ( dan ). Semua varian terse­but me­ru­pa­kan perkembangan baru dan tidak ada di daerah Batak lainnya.
Huruf Ma memiliki berbagai varian di Toba dan Angkola-Man­dailing: , , dan , sementara di Pakpak, Karo dan Simalungun masing-masing hanya ada satu bentuk saja. Di antara ketiga varian tadi, bentuk biasa digunakan di Angkola dan Mandailing, tetapi agak jarang digunakan di Toba yang lebih cenderung memakai dan . Keragaman dalam varian-varian aksara di Toba, dan khusus­nya di Man­dailing menunjuk pada usia tinggi tulisan di daerah itu. Sebagai con­toh akan saya mengemukakan dua aksara, yakni Na dan Ja.
Sebagaimana telah ditunjuk di atas, bentuk Na dalam aksara Kawi sangat mirip dengan varian yang terdapat di Mandai­ling dan di Toba. Hal ini tidak berarti bahwa ak­sara Batak berasal dari aksara Kawi, melainkan menunjukkan bahwa kedua aksara tersebut masih mempunyai nenek mo­yang yang sama atau bahwa terdapat pengaruh Jawa pada seja­rah perkembangan aksara Batak purba. Keberadaan varian yang oleh Voorhoeve disebut “Na kuno” di Mandailing dan Toba juga menunjuk­kan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara.
Bentuk aksara Ja () sama dengan aksara Da () yang ditambah sebuah garis horisontal. Hal yang sama juga berlaku untuk da dan ja pada aksara Kawi, tetapi bukan pada aksara Palawa sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ta­hap awal perkemba­ngan aksara Batak mesti ada pengaruh Kawi. Aksara ke­mudian disederhanakan sehingga di daerah utara dari Toba hanya bentuk yang ada.
Bila kita perbandingkan kedua aksara selatan (Angkola-Mandai­ling dan Toba), ternyata hanya terdapat sedikit perbe­daan saja. Aksa­ra Toba kehilangan beberapa varian dari aksa­ra Sa dan Ha, tetapi di daerah Toba juga terjadi perkem­bangan baru dengan memperkenal­kan varian Ta () dan varian Wa (). Namun tidak tertutup pula kemungkinan bahwa dan adalah bentuk yang lebih lama yang di Mandailing dan di sebagian Toba kemudian berubah menjadi varian Ta () dan varian Wa ()!
Bertolak pada anggapan bahwa t dan ada­lah bentuk yang lebih lama, dan dan per­kembangan baru, maka kedua varian dan kemudian bersebar ke arah utara ke Pakpak-Dairi () dan Karo (). Mesti di­akui bahwa se­ca­ra teoretis terdapat kemungkinan bahwa varian v meru­pakan perkemba­ngan baru di Pak­pak-Dairi yang kemudi­an bersebar ke selatan lalu di­pakai di sebagian daerah Toba. Akan tetapi ke­mungkinan tersebut hanya kecil saja. Se­bagai­mana akan ditunjuk­kan nanti, terlalu banyak indi­kasi bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara dan bu­kan sebaliknya.
Suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa aksara Simalu­ngun memiliki beberapa persamaan dengan Mandailing. Misalnya varian Sa, dan , dan juga varian Ha (yang sangat mirip dengan varian-varian Angkola-Mandailing dan ) terdapat di Mandailing dan di Simalungun, tetapi ti­dak di Toba. Hal itu menun­jukkan bahwa ada ke­mungkinan besar bahwa sudah sangat dini aksa­ra Batak dari Mandailing masuk ke Simalungun. Bentuk huruf Ya dengan garis hori­sontal yang melengkung juga menunjukkan pengaruh Mandai­ling. Menurut Van der Tuuk, kedua varian Toba untuk huruf Ta dan Wa dipakai di “Toba Timur”, sedangkan varian dan dipakai di daerah “Toba Ba­rat”. Sayang Van der Tuuk tidak menjelaskan daerah mana yang dimak­sud de­ngan Toba Barat dan Toba Timur, tetapi kalau Van der Tuuk benar, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:
Aksara Batak mula-mula berkembang di daerah Angkola-Man­dai­ling, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat. Dari sana ak­sara Batak tersebar arah ke utara sehingga terbentuk sebuah aksara purba Toba-Timur–Simalungun (kemudian disebut Toba-Si­malungun) di dareah antara Parapat dan Balige yang subur dan padat penduduk. Ak­sara Simalungun kemudian tidak menunjukkan perkemba­ngan yang ber­arti, tetapi berubah sedikit bentuknya se­hingga semua aksara kelihatan seperti terdiri dari garis-garis yang terpisah-pisah sebagaimana kelihatan sekali pada huruf Ma dan Ra.
Aksara purba Toba-Simalungun menurunkan dua jenis hu­ruf: Toba Timur yang menggunakan Ta dan Wa selatan: , dan , dan Toba Barat yang menggunakan Ta dan Wa utara: dan . Bentuk utara ini dapat dianggap se­bagai perkembangan kemudian yang masuk dari Toba Barat ke Pak­pak-Dairi ( dan ) dan Karo (hanya ). Perlu dite­gaskan di sini bahwa tidak ada garis pasti antara ‘Toba Timur’ dan ‘Toba Barat’. Naskah yang dapat dipastikan daerah asal­nya terlalu sedikit. Lagi pula, bentuk huruf mana yang di­pakai oleh salah seorang juga sangat tergantung pada gurunya. Sifat datu yang suka mengembara turut menga­burkan ba­tas-batas antara daerah.
Daerah Karo dapat dipastikan sebagai daerah yang paling bela­kangan menerima aksara Batak. Tetapi justru di daerah ini, tulisannya berkem­bang sangat subur. Ratusan naskah Karo yang tersimpan di berbagai koleksi di mancanegara mem­buktikan bahwa bukan saja para datu (di Karo disebut guru) bisa membaca dan menulis. Di situ juga banyak ter­dapat pu­las – semacam surat kaleng yang di daerah Karo juga terkenal sebagai musuh běrngi (musuh di malam hari). Tetapi bukti yang paling kuat bahwa aksara Batak cukup umum diketahui oleh para pria Karo adalah kebiasaan menulis ratapan percintaan (bilang-bilang) di ruas-ruas bambu. Barangkali justru karena surat Batak di Karo menjadi demikian populer, maka terjadi perkembangan-perkembangan yang baru seperti dibuktikan oleh hu­ruf Mba dan Nda yang khas Karo.
Tanda Diakritik (Anak ni Surat)
Setiap anak ni surat memiliki nama tersendiri yang berbe­da-beda tergantung pada daerahnya. Studi perbandingan nama diakritik terse­but ternyata sangat bermanfaat dalam menentu­kan arah penyebaran aksara Batak dan juga menunjukkan beberapa persamaan dengan nama diakritik di Sumatra Sela­tan dan di Jawa.
e
BE (Jawa taling, Lampung keteliling, Rejang katiling)
Di Mandailing, diakritik ini dinamakan talinga – hampir sama de­ngan istilah yang dipakai di Jawa, Rejang, dan Lam­pung.
Di Simalungun, nama diakritik tersebut ditambah dengan awalan ha- dan akhiran -an sehingga menjadi hatalingan. Karo kětělengěn ba­rangkali berasal dari Simalungun hataling­an.
Di Toba dan Pakpak hatalingan menjadi hatadingan. Se­babnya ada­lah barangkali bahwa taling tidak berarti apa-apa dalam bahasa Batak, sedangkan tading berarti ‘tinggal’. De­ngan demikian hatadi­ngan dapat diartikan ‘ketinggalan’, dan pemberian nama tersebut ma­suk akal meng­ingat diakritik tersebut berada sebelah kiri huruf induk, jadi dia seolah-olah ‘ketinggalan’ di belakang.
Kemungkinan besar bahwa istilah hatadingan bukan lang­sung berasal dari Mandailing, melainkan melalui Simalungun hatalingan. Mengingat bahwa daerah Simalungun tidak berba­tasan langsung de­ngan daerah Angkola-Mandailing, dapat di­tarik kesimpulan bahwa istilah ha­talingan “lahir” di daerah perbatasan Toba-Simalungun. Hal ini sesuai sekali dengan hipotesa bahwa ak­sara Toba dan Simalungun berasal dari ak­sara purba Toba-Simalungun kira-kira di daerah antara kota Parapat dan Balige. Secara sederhana, penyebaran nama dia­kritik tersebut adalah sebagai berikut[2]:
M Talinga
|
S Hatalingan                     T Hatadingan
|                                        |
K Kětelengan                   P Ketadingin
o, u
Bo
Diakritik yang berbentuk x memiliki makna [o] kecuali di Karo di mana bunyinya adalah [u]. Di Mandailing diakritik ini bernama siala ulu. Siala tidak ada artinya, tetapi ulu ber­arti ‘kepala’, barangkali karena le­taknya yang ‘mengepalai’ hu­ruf induknya. Selain diakritik ini ada lagi diakritik /i/ yang sama posisinya, dan juga namanya agak mirip yakni ulua.
Di Toba siala ulu dipersingkat menjadi siala saja, dan ter­dapat pula nama kedua untuk diakritik tersebut yakni sihora. Di Pakpak-Dairi na­manya persis sama (kalau ditulis), tetapi diucapkan sikora karena makna huruf h di Toba adalah [ha] sedangkan di Pakpak-Dairi selalu [ka]. Si­malungun si­horlu, dan Karo sikurun masih mirip bunyinya dengan si­hora, na­mun kurang jelas bagaimana kepastian­nya:
M Siala Ulu
|
T Siala                              T Sihora
|
P Sikora       (S Sihorlu, K Sikurun)
u, ě
Bu (M, T, S, P) Be (K, P)
Diakritik ini terdapat dua kali di Pakpak, sekali sebagai tanda yang mewakilkan bunyi [u] dan sekali lagi sebagai tanda yang mewakilkan bunyi [ə], yaitu ě-pepet. Yang pertama disebut kaběrětěn, yang kedua kaběrětěn podi. Silsilah aksara ini jelas sekali. Kata kaběrětěn berasal dari Mandailing boruta (juga disebut buruta) yang menurunkan bentuk Toba haboruan dan haborotan. Kedua nama ini meru­pakan hasil interpretasi dari kata boruta dan buruta. Boruta jelas di­anggap sebagai gabu­ngan kata boru ‘anak perempuan’ dan akhiran -ta ‘kita’.
Sebagaimana dapat dilihat pada Mandailing talinga yang menjadi Simalungun hatali­ng­an, dan Mandailing amisara yang menjadi Toba hamisaran, terda­pat kecen­derungan untuk menambah imbuhan ha-…-an. De­ngan demikian boru=ta men­jadi ha=boru=an. Sebagaimana juga terjadi dalam hal hatalingan yang menjadi hatadingan (ialah interpretasi makna berda­sarkan letaknya), diakritik ini pula mendapatkan nama keduanya haborotan (ha=borot=an) karena ia bersatu atau ‘tertambat’ (artinya borot adalah ‘tam­bat’) pada hu­ruf induknya.
M Boruta (Buruta)
|
T Haboruan              T Haborotan
|                                            |
P Kaběrětěn [u],
P Kaběrětěn Podi [ə]             S Haboritan [u]
|
K Kěběrětěn [ə]
ng
B^ (India Anusvara)
Nama diakritik ini adalah amisara di Mandailing yang bunyinya mirip sekali dengan nama diakritik ini di India yakni anusvara. Di Toba dan Simalungun ditambah dengan bunyi sengau [n] dan imbuh­an ha-…-an menjadi haminsaran. Karena bunyi minsar mirip dengan binsar (yang diucapkan ‘bitsar’ atau ‘bincar’) maka di Pakpak-Dairi diakritik ini menjadi kěbincarěn (T binsar dan P bincar ber­arti ‘terbit’). Di Toba juga terdapat nama kedua – paminggil yang berarti ‘bunyi bernada tinggi’.
M Amisara
|
T Hamisaran                     T S Haminsaran       T Paminggil
|
P Kebincaren
|
K Kěbincarěn
i
Bi (J Ulu, L Olan, R Kaluan)
Di hampir seluruh Indonesia, arti ulu adalah ‘kepala’ (hanya bahasa Me­layu/Indonesia yang memakai ‘kepala’ yang berasal dari ba­hasa Sans­ker­ta). Barangkali diakritik ini dinamakan ulu karena ia “mengepalai” hu­ruf in­duknya. Namanya di Mandailing dan Toba ulua, dan di Toba ada na­ma kedua yang masih mirip yakni hauluan dan haluain. Kata dasar ha=ulu=an adalah ulu ditambah dengan imbuhan ha-…-an, sedang­kan haluain agak menyimpang. Pakpak-Dairi kaloan dan Karo kělawan di­turun­kan dari Toba haluain atau Simalungun haluan.
M Uluwa
|
T Uluwa                           T Haluain (Hauluan), S Haluan
|
P Kaloan K Kělawan
o (ou)
BO
L Kětulung (au), R Katulung (au)
Di Lampung dan di Rejang terdapat tanda diakritik untuk diftong /au/ yang dinamakan kětulung dan katulung yang jelas sekali sama dengan Simalungun hatulungan. Simalungun adalah satu-satunya daerah yang memiliki diakritik tersendiri un­tuk diftong [ou]. Diftong [ou] juga terda­pat di Karo, tetapi tidak di daerah-daerah lainnya. Na­mun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk bunyi [ou]. Ken­dati demikian, Karo memiliki dua varian yang menandai bunyi [o] yakni BO dan Bo. Dua-duanya bernama kětolongěn. Kemungkinan besar bahwa da­hulu kala Karo pernah membedakan penulisan [o] dan [ou] sebagaimana sekarang masih halnya di Simalungun.
Karena namanya yang mirip dengan Lampung kětulung dan Re­jang katulung dapat dipastikan bahwa diakritik tersebut bukan perkembangan baru, dan juga mendukung hipotesa saya bahwa aksara Simalungun (atau lebih tepat aksara Purba Toba-Simalungun) adalah lebih tua daripada Toba Barat, Pak­pak atau Karo.
M T (?)
|
S Hatulungan [ou]
|
K Kětolongen [o]
Kalau digambarkan, arah penyebaran aksara Batak adalah sebagai berikut:
Gambar 15: Arah penyebaran aksara Batak

[1] Yang dimaksud dengan “aksara Nusantara” adalah aksara-aksara turunan India yang terdapat di kepulauan Asia Tenggara. [2] K = Karo, P = Pakpak-Dairi, S = Simalungun, T = Toba, M = Angkola dan Man­dailing.