Sejarah
Aksara Batak dan Sejarahnya
Surat Batak sering diklasifikasikan sebagai sebuah silabogram, namum ini jelas keliru karena aksara Batak – sebagaimana juga aksara-aksara lainnya di Nusantara – merupakan bagian dari rumpun tulisan Brahmi (India) yang lebih tepat dapat diklasifikasikan sebagai abugida (paduan antara silabogram dan abjad). Sebuah abugida terdiri dari aksara yang melambangkan sebuah konsonan sementara vokal dipasang pada aksara sebagai diakritik. Abugida adalah jenis tulisan yang bersifat fonetis dalam arti bahwa setiap bunyi bahasanya dapat dilambangkan secara akurat.
Asal Usul Aksara Batak
Paleografi adalah ilmu tentang tulisan-tulisan kuno. Di banyak masyarakat yang mengenal tulisan terdapat naskah-naskah kuno yang umurnya dapat mencapai ratusan atau bahkan ribuan tahun. Aksara yang terdapat pada naskah-naskah kuno pada umumnya berbeda dengan aksara yang terdapat dalam naskah yang lebih baru. Dengan cara memperbandingkan aksara-akasara yang terdapat dalam naskah-naskah lama, kita dapat menyusun semacam silsilah aksara.
Sebagian besar sistem tulisan yang ada di Afrika, Eropa, dan Asia berasal dari satu sumber, yakni aksara Semit Kuno yang menjadi nenek moyang tulisan-tulisan Asia (Arab, Ibrani dan India) maupun Eropa (Latin, Yunani dsb.)
Aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Aksara India yang tertua adalah aksara Brahmi yang menurunkan dua kelompok tulisan yakni India Utara dan India Selatan. Aksara Nagari dan Palawa masing-masing berasal dari kelompok utara dan selatan dan kedua-duanya pernah dipakai di berbagai tempat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Casparis 1975). Yang paling berpengaruh adalah aksara Palawa. Semua tulisan asli Indonesia berinduk pada aksara tersebut.
Pada Gambar berikut dapat dilihat di mana secara garis besar tempatnya aksara Batak dalam silsilah tulisan sedunia.
Silsilah Aksara
Surat Batak terdiri atas dua perangkat huruf yang masing-masing disebut
ina ni surat dan
anak ni surat. Sistem tulisan yang demikian juga dipakai oleh semua abjad India dan abjad-abjad turunannya. Dan memang aksara Batak dan demikian juga semua aksara Nusantara lainnya yang berinduk pada aksara India).
[1] Namun demikian, kerabat
surat Batak yang paling dekat adalah aksara-aksara Nusantara, dan khususnya yang di Sumatra. Tulisan Nusantara asli dapat dibagi atas lima kelompok:
1. Aksara Hanacaraka (Jawa, Sunda, Bali)
Ketiga aksara ini sangat mirip sekali dan disebut Hanacaraka menurut lima aksara yang pertama. Menurut De Casparis, ketiga tulisan tersebut berasal dari aksara Jawa Kuno (Kawi), sementara aksara Kawi secara langsung berasal dari aksara Palawa (Casparis 1975).
2. Surat Ulu (Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pasemah, dan Serawai)
Surat Ulu, yang kadang-kadang juga dinamakan aksara Ka-Ga-Nga menurut bunyi ketiga aksara pertama, sangat mirip satu sama lain dan dipakai di dalam daerah yang sangat luas yang mencakup empat propinsi yakni Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Aksara Kerinci (
surat incung) digunakan di Kabupaten Kerinci, propinsi Jambi, di sekitar kota Sungaipenuh. Dataran tinggi di pegunungan Bukit Barisan ini berbatasan dengan propinsi Sumatra Barat dan propinsi Bengkulu.
Aksara yang ada di kabupaten Rejang-Lebong, Propinsi Bengkulu, juga dikenal sebagai aksara Rencong. Masih di kabupaten Bengkulu dan di perbatasan Bengkulu-Sumatra Selatan terdapat beberapa suku bangsa yang memiliki aksara yang hampir sama dengan aksara Rejang-Lebong, yakni aksara Lembak, Pasemah, dan Serawai. Aksara Lampung berbeda sedikit dari Surat Ulu, tetapi masih banyak memiliki persamaan.
3. Surat Batak (Angkola-Mandailing, Toba, Simalungun, Pakpak-Dairi, Karo)
4. Aksara Sulawesi (Bugis, Makasar, dan Bima)
Di Sulawesi terdapat dua aksara yang berbeda. Yang pertama adalah aksara Makasar Kuno. Naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara tersebut sangat sedikit jumlahnya karena sejak abad ke-19 tidak dipakai lagi. Aksara kedua adalah aksara Bugis yang kemudian juga digunakan oleh orang Makasar menggantikan aksara Makasar Kuno. Pada hakikatnya aksara Bugis-Makasar tersebut persis sama, perbedaannya hanya ada pada jumlah huruf karena Bugis mempunyai empat aksara tambahan. Aksara Bugis-Makasar pernah juga digunakan di Bima dan Ende (bekas daerah taklukan Makasar), namun naskah dari kedua daerah tersebut sangat langka sekali. Sama dengan di Sumatra, orang Bugis pun menamakan aksaranya
surat: Surat Bugis.
5. Aksara Filipina (Bisaya, Tagalog, Tagbanwa, Mangyan)
Seperti juga halnya dengan ketiga kelompok di atas, aksara Filipina juga merupakan suatu kelompok yang mempunyai beberapa sistem tulisan yang satu sama lainnya banyak menunjukkan persamaan.
Keempat aksara adalah Sulat Bisaya, Sulat Tagalog, Surat Tagbanwa, dan Surat Mangyan.
Naskah yang paling lama pada umumnya ditulis pada bahan yang dapat bertahan lama seperti di batu atau di lempengan logam. Batu bertulis yang paling tua di Indonesia adalah prasasti Raja Mulavarman yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Barat yang ditulis pada tahun 322 Saka (tahun 400 Masehi). Hampir sama tua (450 M) adalah prasasti Raja Purnavarman yang ditemukan di Ci Aruten, Jawa Barat. Kedua prasasti tersebut beraksara Palawa, dan berbahasa Sanskerta. Prasasti-prasasti Sriwijaya dari abad ke-7 juga masih menggunakan aksara Palawa, tetapi bahasanya lain, yakni bahasa Melayu Kuno. Lambat-laun aksara Palawa tersebut berubah bentuknya sehingga pada abad kedelapan menurunkan aksara Kawi (baik di Sumatra maupun di Jawa). Aksara Kawi tersebut masih relatif mirip dengan aksara induknya, tetapi di sepanjang abad aksara itu berkembang lagi dan bentuk hurufnya berubah. Sebagai akibat perkembangan tersebut, pada abad ke-14 terbentuk beberapa aksara serumpun, termasuk Sumatra (prasasti Adityawarman) dan Jawa (prasasti Majapahit) yang sudah sangat berbeda dari aksara Palawa. Sedangkan aksara Jawa
hanacaraka (abad kedelapan belas hingga kini) juga jauh berbeda dengan aksara Kawi di zaman Majapahit. Bila kita perhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di sepanjang abad menjadi jelas bahwa perubahan itu tidak terjadi secara mendadak melainkan secara berkesinambungan. Sebagai contoh, mari kita simak sejarah perkembangan huruf Na.
Pada naskah Batak ditemukan empat bentuk Na. Yang berbentuk
boleh dianggap yang paling tua karena masih mirip dengan bentuk aksara Palawa dan Kawi (kolom 2–4). Na-kuno ini memiliki varian
yang memperlihatkan perkembangan ke arah bentuk baru
dan
.
Pada kolum pertama tabel di atas terlihat huruf Na sebagaimana ditulis di India pada awal dan pertengahan milenium pertama. Kolom kedua memperlihtakan aksara yang sama sekitar seribu tahun kemudian (abad ke-14). Ternayata dalam kurun waktu seribu tahun bentuk Na Majapahit itu tidak berubah jauh dengan bentuk Palawa; bagian bawah masih hampir sama, namun bagian atas disederhanakan. Kolom ke-3 dan ke-4 memperlihatkan dua bentuk aksara yang juga dari abad ke-14, tetapi digunakan di Sumatra, persisnya di Dharmasraya, di perbatasan Sumatra Barat dan Jambi. Walaupun bentuknya berbeda, kedua aksara berasal dari masa dan tempat yang sama. Keduanya digunakan pada abad ke-14 di dalam kerajaan Malayu. Yang pertama ditulis pada naskah Tanjung Tanah yang berasal dari Dharmasraya, dan yang kedua ditemukan pada bagian belakang patung Amoghapasa yang ditulis oleh Adityawarman dan ditemukan di Dharmasraya juga. Bentuk Na naskah Tanjung Tanah tidak berbeda jauh dengan bentuk aksara Bali Baru namun Jawa Baru sudah makin menjauh dari aksara asalnya.
Jelas kelihatan di sini bahwa aksara Palawa dan Kawi masih sangat mirip, dan juga Batak
, yakni Na-kuno, masih cukup dekat dengan aksara Palawa dan Kawi, sementara Batak
(Na-Baru) merupakan penyederhanaan bentuk
.
Dengan adanya sejumlah naskah kuno, terutama prasasti dan naskah yang ditulis di lempengan-lempengan tembaga atau emas, maka sejarah aksara Jawa dapat ditelusuri kembali sampai pada awal perkembangan aksara Kawi. Orang Batak, Rejang, Kerinci, Lampung, Bugis, Makasar dan juga orang Filipina pada umumnya tidak mengenal prasasti atau naskah logam, dan hanya menggunakan bahan yang mudah lapuk seperti bambu, kulit kayu (Sumatra), dan lontar (Sulawesi). Naskah yang masih ada pada umumnya tidak lebih tua daripada 200 tahun sehingga kita tidak tahu banyak tentang sejarah perkembangan aksara-aksara Nusantara tersebut. Diduga bahwa semua tulisan Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari sumber yang sama yang dianggap berada di Sumatra bagian selatan pada masa kejayaan Sriwijaya.
Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat dengan aksara Batak adalah aksara Kerinci (
surat incung), aksara Lebong, Lembak, Lintang, Pasemah, Rejang, Serawai (
surat ulu), serta aksara Lampung. Sama dengan daerah Batak, daerah-daerah tersebut juga agak terpencil di daerah pegunungan sehingga kurang terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh asing yang dibawa dari seberang lautan dan secara lambat merembet dari pesisir ke pedalaman. Salah satu pengaruh budaya asing adalah masuknya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam bersebar pula tulisan Arab yang di Melayu terkenal sebagai tulisan Jawi. Aksara “Arab gundul” tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatra asli yang kemudian hilang sama sekali. Karena daerah-daerah yang disebut di atas berada di pedalaman dan agak terpencil, maka pengaruh Islam baru dirasakan pada abad ke-19 sehingga aksara asli masih dapat bertahan sampai pada abad ke-20. Besar kemungkinan bahwa aksara Minangkabau dan Melayu juga pernah ada, tetapi kemudian digantikan oleh tulisan Arab-Melayu sehingga hilang tak berbekas.
Aksara-aksara
surat ulu di Sumatra bagian selatan banyak memiliki persamaan dengan huruf Batak. Huruf Ka, Ga, dan Ha hampir sama bentuknya, dan juga huruf Da masih banyak menunjukkan persamaan.
Persamaan Surat Batak, Surat Ulu, dan Surat Incung
Sebagian nama anak huruf juga sangat mirip. Selain itu semua aksara Sumatra dan termasuk juga sebagian aksara Sulawesi dan Filipina memiliki persamaan yang struktural yang membedakannya dengan aksara India, Asia Tenggara, Jawa, dan Bali. Ciri-ciri khas aksara-aksara Sumatra, Sulawesi, dan Filipina adalah kesederhanaannya.
Dibandingkan dengan aksara-aksara India yang memiliki empat puluhan aksara ditambah belasan tanda diakritik, tulisan-tulisan Nusantara jauh lebih sederhana. Tulisan Jawa dan Bali memiliki 20 aksara dan 10 diakritik, tulisan Lampung memiliki 20 aksara dan 12 diakritik, tulisan Makasar 19 aksara dan 5 diakritik, dan tulisan Tagalog hanya 15 aksara dan dua diakritik.
Tulisan-tulisan India dan juga tulisan Sunda, Jawa, dan Bali mempunyai tanda “pasangan”, ialah tanda diakritik penanda konsonan yang ditulis untuk menutup konsonan lain di depannya. Tulisan-tulisan Nusantara di luar Jawa dan Bali tidak menggunakan pasangan sehingga jumlah huruf yang harus dihafal jauh berkurang.
Kesederhanaan dalam bentuk aksaranya juga adalah ciri-ciri khas bagi aksara-aksara tersebut. Bila dibandingkan dengan aksara Jawa atau Bali, tampak bahwa aksara Sumatra, Sulawesi dan Filipina mempunyai bentuk yang lebih sederhana. Bentuk yang berlengkung-lengkung telah diganti oleh bentuk yang lebih bersegi yang lebih sesuai untuk menulis di permukaan yang keras seperti di kulit bambu.
Aksara-aksara tersebut juga memperkenalkan sebuah hal yang baru yakni aksara-aksara yang didahului bunyi sengau. Batak (Karo) memiliki dua huruf tambahan yakni Mba dan Nda, aksara Kerinci dan Rencong menambahkan dua lagi yakni Ngga dan Nja. Aksara Bugis juga mempunyai empat aksara yang bersengau ialah Ngka, Mpa, Nra, dan Nca. Perlu dicatat bahwa gejala tersebut tidak ada pada aksara Batak selain Karo, dan juga tidak ada di Lampung, Makasar, dan Filipina.
Karena persamaan-persamaan yang tadi disebut, dapat diduga bahwa semua aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari satu aksara purba. Aksara purba tersebut kemungkinan besar tercipta di daerah Sumatra selatan pada masa kejayaan dan di sekitar wilayah Sriwijaya. Aksara purba tersebut dapat dipastikan tercipta di bawah pengaruh aksara-aksara Palawa yang telah berkembang di wilayah tersebut, namun diolah sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi lebih sederhana supaya lebih mudah dipelajari, lebih sesuai untuk bahasa-bahasa setempat (yang dari segi bunyi jauh lebih sederhana daripada bahasa-bahasa India), dan juga lebih sesuai untuk menulis di atas bambu. Bagaimana persisnya perkembangan aksara Sumatra selanjutnya, bagaimana hubungannya dengan kerabat-kerabat lainnya di Filipina dan di Sulawesi, dan bagaimana persisnya peranan aksara Jawa dalam pembentukan aksara Sumatra tidak diketahui dan mungkin juga kelak tidak akan diketahui.
Walaupun pengetahuan kita tentang masa lampau aksara Batak sangat terbatas, kita dapat mengetahui sedikit tentang sejarah perkembangan aksara Batak dengan cara memperbandingkan aksara Batak satu sama lain, dan juga dengan aksara Nusantara lainnya. Ternyata penelitian yang demikian yang sampai sekarang belum pernah dilakukan, sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang perkembangan dan arah penyebaran aksara Batak. Analisa ini dimulai pada
ina ni surat.
Aksara (Ina ni Surat)
Van der Tuuk berpendapat bahwa perkembangan aksara Batak terjadi dari selatan ke utara, dan bahwa daerah asalnya di Mandailing (Tuuk 1971:77). Parkin (1978:100) juga berpendapat demikian karena alasan-alasan berikut:
Aksara Nya, Wa dan Ya melambangkan tiga bunyi yang terdapat dalam bahasa Mandailing sementara dalam bahasa Toba tidak ada bunyi [ny], [w], atau [y]. Dengan demikian ketiga huruf tersebut sebenarnya mubazir karena tidak terdapat bunyinya dalam bahasa Toba. Sebagai contoh, Mandailing
sayur menjadi
saur di Toba,
manyurat menjadi
manurat. Pada bahasa Pakpak dan Karo tidak ada bunyi [ny] dan juga tidak ada aksara Nya. Keberadaan Nya di aksara Toba membuktikan bahwa aksara Toba berasal dari Mandailing.
Argumentasi Parkin sangat masuk akal. Sekiranya aksara Batak mula-mula tercipta di Toba, tak mungkin ada huruf Nya, karena tidak ada bunyi itu dalam bahasa Toba. Di Tanah Karo – daerah yang paling utara letaknya, huruf
(yang di selatan berbunyi Nya) berubah maknanya menjadi Ca. Ternyata urutan dalam abjadnya tetap sama dengan posisi Nya ialah antara La dan I. Dengan demikian, huruf
menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara. Teori tersebut juga didukung oleh faktor-faktor lainnya:
Keragaman dalam varian-varian aksara paling besar di Mandailing, disusul oleh Toba dan Karo. Namun di Karo, keragaman tersebut disebabkan oleh adanya perkembangan-perkembangan yang relatif baru seperti variasi yang ada pada huruf Sa, Da, dan Ca, dan terutama karena adanya sejumlah aksara baru seperti ketiga varian Mba
,
dan
serta kedua varian Nda (
dan
). Semua varian tersebut merupakan perkembangan baru dan tidak ada di daerah Batak lainnya.
Huruf Ma memiliki berbagai varian di Toba dan Angkola-Mandailing:
,
, dan
, sementara di Pakpak, Karo dan Simalungun masing-masing hanya ada satu bentuk saja. Di antara ketiga varian tadi, bentuk
biasa digunakan di Angkola dan Mandailing, tetapi agak jarang digunakan di Toba yang lebih cenderung memakai
dan
. Keragaman dalam varian-varian aksara di Toba, dan khususnya di Mandailing menunjuk pada usia tinggi tulisan di daerah itu. Sebagai contoh akan saya mengemukakan dua aksara, yakni Na dan Ja.
Sebagaimana telah ditunjuk di atas, bentuk Na dalam aksara Kawi sangat mirip dengan varian
yang terdapat di Mandailing dan di Toba. Hal ini tidak berarti bahwa aksara Batak berasal dari aksara Kawi, melainkan menunjukkan bahwa kedua aksara tersebut masih mempunyai nenek moyang yang sama atau bahwa terdapat pengaruh Jawa pada sejarah perkembangan aksara Batak purba. Keberadaan varian
yang oleh Voorhoeve disebut “Na kuno” di Mandailing dan Toba juga menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara.
Bentuk aksara Ja (
) sama dengan aksara Da (
) yang ditambah sebuah garis horisontal. Hal yang sama juga berlaku untuk da dan ja pada aksara Kawi, tetapi bukan pada aksara Palawa sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tahap awal perkembangan aksara Batak mesti ada pengaruh Kawi. Aksara
kemudian disederhanakan sehingga di daerah utara dari Toba hanya bentuk
yang ada.
Bila kita perbandingkan kedua aksara selatan (Angkola-Mandailing dan Toba), ternyata hanya terdapat sedikit perbedaan saja. Aksara Toba kehilangan beberapa varian dari aksara Sa dan Ha, tetapi di daerah Toba juga terjadi perkembangan baru dengan memperkenalkan varian Ta (
) dan varian Wa (
). Namun tidak tertutup pula kemungkinan bahwa
dan
adalah bentuk yang lebih lama yang di Mandailing dan di sebagian Toba kemudian berubah menjadi varian Ta (
) dan varian Wa (
)!
Bertolak pada anggapan bahwa t dan
adalah bentuk yang lebih lama, dan
dan
perkembangan baru, maka kedua varian
dan
kemudian bersebar ke arah utara ke Pakpak-Dairi (
) dan Karo (
). Mesti diakui bahwa secara teoretis terdapat kemungkinan bahwa varian v merupakan perkembangan baru di Pakpak-Dairi yang kemudian bersebar ke selatan lalu dipakai di sebagian daerah Toba. Akan tetapi kemungkinan tersebut hanya kecil saja. Sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terlalu banyak indikasi bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara dan bukan sebaliknya.
Suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa aksara Simalungun memiliki beberapa persamaan dengan Mandailing. Misalnya varian Sa,
dan
, dan juga varian Ha
(yang sangat mirip dengan varian-varian Angkola-Mandailing
dan
) terdapat di Mandailing dan di Simalungun, tetapi tidak di Toba. Hal itu menunjukkan bahwa ada kemungkinan besar bahwa sudah sangat dini aksara Batak dari Mandailing masuk ke Simalungun. Bentuk huruf Ya dengan garis horisontal yang melengkung juga menunjukkan pengaruh Mandailing. Menurut Van der Tuuk, kedua varian Toba untuk huruf Ta
dan Wa
dipakai di “Toba Timur”, sedangkan varian
dan
dipakai di daerah “Toba Barat”. Sayang Van der Tuuk tidak menjelaskan daerah mana yang dimaksud dengan Toba Barat dan Toba Timur, tetapi kalau Van der Tuuk benar, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:
Aksara Batak mula-mula berkembang di daerah Angkola-Mandailing, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat. Dari sana aksara Batak tersebar arah ke utara sehingga terbentuk sebuah aksara purba Toba-Timur–Simalungun (kemudian disebut Toba-Simalungun) di dareah antara Parapat dan Balige yang subur dan padat penduduk. Aksara Simalungun kemudian tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, tetapi berubah sedikit bentuknya sehingga semua aksara kelihatan seperti terdiri dari garis-garis yang terpisah-pisah sebagaimana kelihatan sekali pada huruf Ma dan Ra.
Aksara purba Toba-Simalungun menurunkan dua jenis huruf: Toba Timur yang menggunakan Ta dan Wa selatan:
, dan
, dan Toba Barat yang menggunakan Ta dan Wa utara:
dan
. Bentuk utara ini dapat dianggap sebagai perkembangan kemudian yang masuk dari Toba Barat ke Pakpak-Dairi (
dan
) dan Karo (hanya
). Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak ada garis pasti antara ‘Toba Timur’ dan ‘Toba Barat’. Naskah yang dapat dipastikan daerah asalnya terlalu sedikit. Lagi pula, bentuk huruf mana yang dipakai oleh salah seorang juga sangat tergantung pada gurunya. Sifat
datu yang suka mengembara turut mengaburkan batas-batas antara daerah.
Daerah Karo dapat dipastikan sebagai daerah yang paling belakangan menerima aksara Batak. Tetapi justru di daerah ini, tulisannya berkembang sangat subur. Ratusan naskah Karo yang tersimpan di berbagai koleksi di mancanegara membuktikan bahwa bukan saja para
datu (di Karo disebut
guru) bisa membaca dan menulis. Di situ juga banyak terdapat
pulas – semacam surat kaleng yang di daerah Karo juga terkenal sebagai
musuh bě
rngi (musuh di malam hari). Tetapi bukti yang paling kuat bahwa aksara Batak cukup umum diketahui oleh para pria Karo adalah kebiasaan menulis ratapan percintaan (
bilang-bilang) di ruas-ruas bambu. Barangkali justru karena surat Batak di Karo menjadi demikian populer, maka terjadi perkembangan-perkembangan yang baru seperti dibuktikan oleh huruf Mba dan Nda yang khas Karo.
Tanda Diakritik (Anak ni Surat)
Setiap
anak ni surat memiliki nama tersendiri yang berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Studi perbandingan nama diakritik tersebut ternyata sangat bermanfaat dalam menentukan arah penyebaran aksara Batak dan juga menunjukkan beberapa persamaan dengan nama diakritik di Sumatra Selatan dan di Jawa.
e
BE (Jawa
taling, Lampung
keteliling, Rejang
katiling)
Di Mandailing, diakritik ini dinamakan
talinga – hampir sama dengan istilah yang dipakai di Jawa, Rejang, dan Lampung.
Di Simalungun, nama diakritik tersebut ditambah dengan awalan ha- dan akhiran -an sehingga menjadi
hatalingan. Karo
kě
tě
lengě
n barangkali berasal dari Simalungun
hatalingan.
Di Toba dan Pakpak
hatalingan menjadi
hatadingan. Sebabnya adalah barangkali bahwa
taling tidak berarti apa-apa dalam bahasa Batak, sedangkan
tading berarti ‘tinggal’. Dengan demikian
hatadingan dapat diartikan ‘ketinggalan’, dan pemberian nama tersebut masuk akal mengingat diakritik tersebut berada sebelah kiri huruf induk, jadi dia seolah-olah ‘ketinggalan’ di belakang.
Kemungkinan besar bahwa istilah
hatadingan bukan langsung berasal dari Mandailing, melainkan melalui Simalungun
hatalingan. Mengingat bahwa daerah Simalungun tidak berbatasan langsung dengan daerah Angkola-Mandailing, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah
hatalingan “lahir” di daerah perbatasan Toba-Simalungun. Hal ini sesuai sekali dengan hipotesa bahwa aksara Toba dan Simalungun berasal dari aksara purba Toba-Simalungun kira-kira di daerah antara kota Parapat dan Balige. Secara sederhana, penyebaran nama diakritik tersebut adalah sebagai berikut
[2]:
M Talinga
|
S Hatalingan T Hatadingan
| |
K Kětelengan P Ketadingin
o, u
Bo
Diakritik yang berbentuk x memiliki makna [o] kecuali di Karo di mana bunyinya adalah [u]. Di Mandailing diakritik ini bernama
siala ulu.
Siala tidak ada artinya, tetapi
ulu berarti ‘kepala’, barangkali karena letaknya yang ‘mengepalai’ huruf induknya. Selain diakritik ini ada lagi diakritik /i/ yang sama posisinya, dan juga namanya agak mirip yakni
ulua.
Di Toba
siala ulu dipersingkat menjadi
siala saja, dan terdapat pula nama kedua untuk diakritik tersebut yakni
sihora. Di Pakpak-Dairi namanya persis sama (kalau ditulis), tetapi diucapkan
sikora karena makna huruf h di Toba adalah [ha] sedangkan di Pakpak-Dairi selalu [ka]. Simalungun
sihorlu, dan Karo
sikurun masih mirip bunyinya dengan
sihora, namun kurang jelas bagaimana kepastiannya:
M Siala Ulu
|
T Siala T Sihora
|
P Sikora (S Sihorlu, K Sikurun)
u, ě
Bu (M, T, S, P) Be (K, P)
Diakritik ini terdapat dua kali di Pakpak, sekali sebagai tanda yang mewakilkan bunyi [u] dan sekali lagi sebagai tanda yang mewakilkan bunyi [ə], yaitu ě-pepet. Yang pertama disebut
kabě
rě
tě
n, yang kedua
kabě
rě
tě
n podi. Silsilah aksara ini jelas sekali. Kata
kabě
rě
tě
n berasal dari Mandailing
boruta (juga disebut
buruta) yang menurunkan bentuk Toba
haboruan dan
haborotan. Kedua nama ini merupakan hasil interpretasi dari kata
boruta dan
buruta.
Boruta jelas dianggap sebagai gabungan kata
boru ‘anak perempuan’ dan akhiran
-ta ‘kita’.
Sebagaimana dapat dilihat pada Mandailing
talinga yang menjadi Simalungun
hatalingan, dan Mandailing
amisara yang menjadi Toba
hamisaran, terdapat kecenderungan untuk menambah imbuhan ha-…-an. Dengan demikian boru=ta menjadi ha=boru=an. Sebagaimana juga terjadi dalam hal
hatalingan yang menjadi
hatadingan (ialah interpretasi makna berdasarkan letaknya), diakritik ini pula mendapatkan nama keduanya
haborotan (ha=borot=an) karena ia bersatu atau ‘tertambat’ (artinya
borot adalah ‘tambat’) pada huruf induknya.
M Boruta (Buruta)
|
T Haboruan T Haborotan
| |
P Kaběrětěn [u],
P Kaběrětěn Podi [ə] S Haboritan [u]
|
K Kěběrětěn [ə]
ng
B^ (India
Anusvara)
Nama diakritik ini adalah
amisara di Mandailing yang bunyinya mirip sekali dengan nama diakritik ini di India yakni
anusvara. Di Toba dan Simalungun ditambah dengan bunyi sengau [n] dan imbuhan ha-…-an menjadi
haminsaran. Karena bunyi
minsar mirip dengan
binsar (yang diucapkan ‘bitsar’ atau ‘bincar’) maka di Pakpak-Dairi diakritik ini menjadi
kě
bincarě
n (T
binsar dan P
bincar berarti ‘terbit’). Di Toba juga terdapat nama kedua –
paminggil yang berarti ‘bunyi bernada tinggi’.
M Amisara
|
T Hamisaran T S Haminsaran T Paminggil
|
P Kebincaren
|
K Kěbincarěn
i
Bi (J Ulu, L Olan, R Kaluan)
Di hampir seluruh Indonesia, arti
ulu adalah ‘kepala’ (hanya bahasa Melayu/Indonesia yang memakai ‘kepala’ yang berasal dari bahasa Sanskerta). Barangkali diakritik ini dinamakan
ulu karena ia “mengepalai” huruf induknya. Namanya di Mandailing dan Toba
ulua, dan di Toba ada nama kedua yang masih mirip yakni
hauluan dan
haluain. Kata dasar ha=ulu=an adalah
ulu ditambah dengan imbuhan ha-…-an, sedangkan
haluain agak menyimpang. Pakpak-Dairi
kaloan dan Karo
kělawan diturunkan dari Toba
haluain atau Simalungun
haluan.
M Uluwa
|
T Uluwa T Haluain (Hauluan), S Haluan
|
P Kaloan K Kělawan
o (ou)
BO
L Kětulung (au), R Katulung (au)
Di Lampung dan di Rejang terdapat tanda diakritik untuk diftong /au/ yang dinamakan
kě
tulung dan
katulung yang jelas sekali sama dengan Simalungun
hatulungan. Simalungun adalah satu-satunya daerah yang memiliki diakritik tersendiri untuk diftong [ou]. Diftong [ou] juga terdapat di Karo, tetapi tidak di daerah-daerah lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk bunyi [ou]. Kendati demikian, Karo memiliki dua varian yang menandai bunyi [o] yakni BO dan Bo. Dua-duanya bernama
kě
tolongě
n. Kemungkinan besar bahwa dahulu kala Karo pernah membedakan penulisan [o] dan [ou] sebagaimana sekarang masih halnya di Simalungun.
Karena namanya yang mirip dengan Lampung
kě
tulung dan Rejang
katulung dapat dipastikan bahwa diakritik tersebut bukan perkembangan baru, dan juga mendukung hipotesa saya bahwa aksara Simalungun (atau lebih tepat aksara Purba Toba-Simalungun) adalah lebih tua daripada Toba Barat, Pakpak atau Karo.
M T (?)
|
S Hatulungan [ou]
|
K Kětolongen [o]
Kalau digambarkan, arah penyebaran aksara Batak adalah sebagai berikut:
Gambar 15: Arah penyebaran aksara Batak
[1] Yang dimaksud dengan “aksara Nusantara” adalah aksara-aksara turunan India yang terdapat di kepulauan Asia Tenggara. [2] K = Karo, P = Pakpak-Dairi, S = Simalungun, T = Toba, M = Angkola dan Mandailing.